Kamis, 24 Juli 2008

MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR MATEMATIKA MELALUI METODE PROBLEM POSING

PENDAHULUAN

Mutu pendidikan merupakan permasalahan yang masih menjadi bahan kajian dan perhatian sampai sekarang ini. Hal ini terbukti dari banyaknya penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran. Salah satu indikator yang paling menonjol dalam kajian mutu pendidikan adalah prestasi belajar. Marakny pengkajian prestasi belajar dikarenakan masih seringnya ditemukan di setiap jenjang pendidikan, dimana beberapa orang siswa yang menunjukkan prestasi belajar yang rendah.

Salah satu penyebab rendahnya aprestasi belajar siswa adalah terletak pada proses pembelajaran matematika yang masih sering ditemui adanya dominasi guru yang mengakibatkan siswa cenderung lebih bersifat pasif. Disamping itu proses pembelajaran matematika yang ditemui pada umumnya masih secara konvensional dengan hanya mendengar ceramah dari guru, sehingga sebagian siswa menjadi cepat bosan dan malas dalam mengikuti materi pelajaran. Akibatnya penguasaan mereka terhadap materi yang diberikan tidak tuntas. Dengan demikian hasil belajarnya menjadi rendah. Untuk dapat memahami suatu konsep atau teori dalam matematika bukanlah suatu pekerjaan mudah. Sehingga untuk mempelajari matematika dengan baik diperlukan aktivitas belajar yang baik.

Oleh karena itu, setiap kegiatan belajar yang sedang berlangsung hendaknya melibatkan seluruh siswa, sehingga siswa tersebut dapat berpartisipasi aktif dalam materi yang sedang dibicarakan. Siswa akan berhasil dengan baik bila dalam pembelajaran berpartisipasi secara aktif.

Pentingnya aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran mateamtika didasarkan pada sifat mata pelajaran itu sendiri, karena pada dasarnya mata pelajaran tersebut bersifat abstrak sehingga diperlukan suatu cara dalam mengatasi agar mata pelajaran tersebut mendapat respon yang tinggi dari siswa. Oleh karena itu, diperlukan aktivitas siswa untuk adapat memahami dan menguasai materi yang diberikan.

Salah satu kondisi pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam belajar matematika yaitu dengan melalui pendekatan problem posing. Pendekatan ini dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk membuat soal dari msaalah yang diberikan oleh guru dan menyelesaikannya sendiri atau diselesaikan oleh siwa yang lain, sehingga akan terlihat kegiatan siswa siswa akan lebih dominan dibandaingkan dengan guru.

PEMBAHASAN

1. Belajar Matematika

Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku seorang sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan tersebut nyata dalam aspek tingkah laku. Herman Hudoyo (1990:1) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan belajar, bila dapat diasumsikan dari orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan terjadinya suatu perubahan tingkah laku.

Beberapa pakar lain yang memberikan definisi tentang belajar sebagaimana diungkapkan oleh Nasution (1996:140) adalah sebagai berikut:

1. Gagne, mengemukakan bahwa belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi seseorang sedemikian rupa, sehingga perbuatannya berubah dari waktu sebelum mengalami situasi itu ke waktu sesudah mengalami situasi tadi.

2. Hilgard dan Bower, mengemukakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon, pembawaan kematangan, atau keadaan sesaat seseorang.

3. Morgan, mengemukakan bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.

Piaget (Dimyati, 1999: 13) mengemukakan bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan sehingga lingkungan tersebut mengalami perubahan dan dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang.

Dari beberapa pedapat diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses yang dapat merubah tingkah laku seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, tidak mengerti menjadi mengerti, dan dari tidak paham menjadi paham. Dalam proses belajar ini membutuhkan kesiapan mental dan kesiapan psikis. Proses inilah merupakan salah satu alat yang digunakan untuk menguasai matematika.

Matematika adalah ilmu pengetahuan yang bersifat deduktif aksiomatik,yang berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberi sombol-simbol yang tersusun secara hirarkis.

Manangkasi (Sanuartini, 2000: 7) menjelaskan bahwa

“Belajar matematika adalah suatu kegiatan mental untuk memahami arti dan maksud dari lambang-lambang dan cara memanipulasi lambang-lambang tersebut yang kompleks menjadi sederhana berdasarkan asumsi dasar, aksioma, dalil-dalil dan teorema yang sudah dibuktikan sebelumnya.”

Sejalan dengan pernyataan diatas, Agung (Sanuartini, 2000: 7) mengemukakan bahwa:

“Hakekat belajar matematika adalah suatu aktivitas untuk memahami arti hubungan-hubungan, simbol-simbol, kemudian menerapkan konsep-konsep yang dihasilkan. Belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu.”

Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan bahwa belajar matematika pada hakekatnya adalah aktivitas mental untuk memahami arti dari struktur-struktur, hubungan-hubungan, simbol-simbol yang ada dalam materi pelajaran matematika sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku pada diri siswa.

2. Aktivitas Belajar Matematika

Proses belajar mengajar merupakan interaksi antara dua manusia, yakni siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihay pembimbing dan pengarah.

Suatu proses belajar dikatakan baik, bila proses tersebut dapat membangkitkan aktivitas belajar yang efektif. Meskipun syarat utama suksesnya pengajaran adalah “hasilnya”, akan tetapi harus diingat bahwa dalam menilai atau menerjemahkan “hasil” harus secara cermat dan tepat dengan memperhatikan “prosesnya”, karena dalam proses inilah siswa beraktivitas.

Seoranag anak itu berpikir sepanjang ia berbuat. Tanpa perbuatan berarti anak itu tidak berfikir. Oleh karena itu, agar anak berfikir sendiri, maka aktivitas belajar perlu dipacu agar mendukung proses belajarnya (Sardiman, 2000; 98).

Sementara Nasution (1986; 93) mengemukakan bahwa aktivitas belajar dapat meliputi aktivitas visual, aaktivitas lisan, aktivitas pendengaran, aktivitas menulis, aktivitas menggambar, aktivitas motorik, aktivitas mental maupun aktivitas emosional. Aktivitas tersebut tidaksaling terpisahkan satu sama lain, sebab untuk mempelajari mata pelajaran memerlukan aktivitas belajar yang saling berhubungan..

Menurut Uzer (2002; 26) bahwa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterlibatan atau keaktifan siswa dalambelajar adalah sebagai berikut:

a. Cara memperbaiki keterlibatan kelas:

1) Mengabdikan waktu yanag lebih banyak untuk kegiatan-kegiatan belajar mengajar.

2) Meningkatkan partisipasi siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar dengan menuntut respon yang aktif darisiswa.

3) Masa transisi antara berbagai kegiatan dalam mengajar hendaknya dilakukan secara cepat dan luwes.

4) Memberikan pengajaranyang jelas dan tepat sesuai dengan tujuan mengajar yang akan dicapai.

5) Mengusahakan agar pengajaran lebih menarik minat siswa.

b. Cara meningkatkan keterlibatan siswa

1) Mengenali danmembantu siswa yang kurang terlibat.

2) Menyiapkan siswa secara tepat.

3) Menyesuaikan pengajaran dengan kebutuhan-kebutuhan individual siswa.

Setiap guru mengetahui bahwa keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar sangat diperlukan agar belajar menjadi efektif dan dapat mencapai hasil yang diinginkan.

Keberhasilan siswa dalam melakukan aktivitas belajarnya dapat diketahui melalui lamanya waktu yang dibutuhkan dalam aktivitasnya mempelajari bahan belajar yang diberikan. Selain itu, aktivitas belajar siswa dpat diketahui dari perlakuan siswa terhadap bahan ajar.

3. Pendekatan Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

Problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah “merumuskan masalah (soal) atau membuat masalah (soal)”. Menurut Silver (Sutiarso, 2000) problem posing mempunyai beberapa arti. Pertama, peroblem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Kedua, problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan atau alternatif soal yang masih relevan. Problem posing dimaksudkan perumusan masalah (soal) oleh siswa dari situasi yang tersedia atau soal yang diberikan oleh guru, yang dilakukan sebelum, ketika, dan setelah pemecahan masalah, misalnya guru mengajukan masalah/soal kepada siswa, selanjutnya siswa disuruh mengajukan pertanyaan-pertanyaan (masalah-masalah) yang mengarah kepada pemecahan masalah. Ketiga, problem posing yaitu merumuskan atau membuat soal dari situasi yang diberikan.

Pada dasarnya problem posing merupakan pengembangan dari pembelajaran dengan problem solving (pemecahan masalah). Pengembangan ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahwa dalam problem posing diperlukan kemampuan siswa dalam memahami soal, merencanakan langkah-langkah penyelesaian soal, dan menyelesaikan soal tersebut. Ketiga langkah tersebut adalah bagian dari langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan problem solving (pemecahan masalah).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa problem posing mempunyai korelasi yang positif dengan kemampuan pemecahan masalah (problem solving). Suryanto (Suharta, 2000) mengatakan bahwa problem posing matematika merupakan salah satu sistem kriteria penggunaan pola pikir matematik atau kriteria berpikir matematik dan sangat sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika.

Pembelajaran matematika melalui pendekatan problem posing mencakup dua macam kegiatan, yaitu:

1. Membuat soal matematika dari situasi atau pengalaman siswa.

2. membuat soal matematika dari soal lainyang sudak ada.

Dari kedua kegiatan tersebut, terdapat dua aspek penting yaitu accepting dan challeging. Accepting berkaitan dengan kemampuan siswa dalam memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi yang sudah ditentukan. Sedangkan challeging berkaitan dengan sampai sejauah mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan sehingga memiliki kemampuan untk membuat soal matematika, sehingga problem posing matematika dapat membantu siswa untuk mengembangkan proses nalar mereka (Hamzah, 2003; 19).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembelajaran melalui pendekatan problem posing dapat meningkatkan pola pikir matematika yang sangat sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika. Ini berarti pembelajaran matematika dengan problem posing dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan keaktifan siswa sisw dalam belajar.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan manfaat dari pembelajaran dengan problem posing jika dikaitkan dengan problem solving diantaranya: hasil penelitian Silver dan Cai (Sutiarso, 2000: 629) adalah siswa yang dapat merumuskan soal matematis memiliki kemampuan pemecahan masalah yang lebih tinggi dari pada siswa yang tidak dapat membuat soal. Penelitian lain dilakukan oleh Hashimoto (Sutiarso, 2000: 629) menunjukkan bahwa pembelajaran dengan problem posing menimbulkan dampak positif terhadap kemampuan siswa dalam problem solving. Bahkan, pembelajaran dengan problem posing dapat menimbulkan sikap positif siswa terhadap matematika.

Suryanto (1998: 5) mengemukakan beberapa petunjuk pembelajaran dengan problem posing, yaitu;

a) Petunjuk pembelajaran yang berkaitan dengan guru

1. Guru hendaknya mebiasakan merumuskan soal baru atau memperluas soal dari soal-soal yang ada di buku pelajaran.

2. Guru hendaknya menyediakan beberapa situasi yang berupa informasi tertulis, benda manipulatif, gambar, atau yang lainnya, kemudian guru melatih siswa merumuskan soal dengan situasi yang ada.

3. Guru dapat menggunakan soal terbuka dalam tes.

4. Guru memberikan contoh perumusan soal dengan beberapa taraf kesukaran baik kesulitan isi matematika maupun kesulitan bahasanya.

5. Guru menyelenggarakan reciprocal teaching, yaitu pembelajaran yang berbentuk dialog antara guru dan siswa mengenai sebagian isi buku tes, yang dilaksanakan dengan menggilir siswa berperan sebagai guru.

b) Petunjuk pembelajaran yang berkaitan dengan siswa

1. Siswa dimotivasi untuk mengungkapkan pertanyaan sebanyak-banyaknya terhadap situasi yang diberikan.

2. Siswa dibiasakan mengubah soal-soal yang ada menjadi soal yang baru sebelum siswa menyelesaikan soal tersebut.

3. Siswa dibiasakan untuk membuat soal-soal serupa/sejenis setelah menyelesaikan soal tersebut.

4. Siswa harus diberanikan menyelesaikan soal-soal yang dirumuskan temannya sendiri.

5. Siswa dimotivasi menyelesaikan soal-soal non rutin.

KESIMPULAN

Penerapan strategi problem posing dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Selain itu siswa akan lebih aktif dan termotivasi dalam pembelajaran dikelas. Kelebihan pembelajaran dengan pendekatan problem posing adalah meningkatkan kemampuan berpikir teoritis dan kreatif dari siswa, meningkatkan perhatian dan komunikasi matematika siswa, dan meningkatkan pemahaman konsep matematika. Sementara kendala dari penerapan pendekatan problem posing adalah waktu yang diperlukan relatif lebih banyak.


DAFTAR PUSTAKA

Dimyati, 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Hudoyo, Herman, 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. IKIP Malang.

Nasution, Noehi, 1996. Evaluasi Proses dan Hasil Belajar IPA: Modul 1 – 6. Jakarta: Depdikbud.

Nasution, 1986. Dedaktis Asas-asas Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.

Sanuartini, 2000. Pengaruh Kreativitas Belajar Matematika Terhadap Prestasi Belajar Matematika. Skripsi. FMIPA UNM Makassar.

Sardiman, 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Upu, Hamzah, 2003. Problem Posing dan Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika. Bandung: Pustaka Ramadhan.

Uzer, 2002. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sutiarso, Sugeng. Problem Possing: Strategi Efektif Meningkatkan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Matematika. Journal. Volume 6 No 5.2000. Hal. 631.

Suharta, I Gusti Putu. Pengembangan Strategi Problem Possing dalam Pembelajaran Kalkulus Untuk Memperbaiki Kesalahan Konsepsi. Jurnal Matematika tahun VI. Nomor 2 Agustus 2000. Hal. 92.

Suryanto, 1998. Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika. Makalah dalam Seminar Nasional. PPS IKIP Malang. Malang.

On Exploring the Estimating Parameter of Exponential Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (EGARCH) Models

1. Introduction

At some cases, time series data showing behavior differently, linear and non-linear. Stock market data, monetary data, and economic data, for example, often behave as non linear, while other demand in production line data almost often behave in linear form. The other view comes up due to their heteroscedasticity. To grasp this characteristic into the model, in order to overcome the problem, one not only has to involve a special approach called Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH) introduced firstly by Engle (1982) and Bollerslev (1986), but also has to considering Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH). Even family of GARCH, such as Exponential GARCH (Nelson, 1991) is frequently used to transform the variance of data leading not constant.

Before forecasting step, especially when EGARCH is used, the requirement of parameter estimation for making the model closer to the pattern of data has to be made. With the intention that estimator can minimize risk. Some method frequently used to estimate parameter, which often give estimator coming near truth, are maximum likelihood estimation, least square method, and moment method.

Many researchers have studied about these methods in estimating parameter model. Some of them are Cryer (1986) who had succeed to use method of moment to estimate parameter time series model; Box, Jenkins, and Reinsel (1994) who had carried out in estimating parameter using maximum likelihood estimation, least squarer estimates, and Bayesian estimation; and Hilmer and Tiao (1979) who had been certified in using likelihood function in estimating the stationerity of ARIMA model.

This paper deals with estimating parameter model using maximum likelihood estimation couple with its statistics tests for Exponential GARCH (EGARCH) model.

2. ARIMA Box-Jenkins Models

In some time series modeling, series data are assumed to be stationer, and therefore, there are no trend in mean and variance. But, in some fact, when the data follow the stochastic change, time series analysis has to consider the process by expressing it into a random variable with the density function . Where would be a time series data of having value at a random variable from such probability distribution (Wei, 1990).

A popular method developed for analyzing this time series data is ARIMA Box-Jenkins methods introduced by Box-Jenkins (Box, et. al, 1994). But this model is still claimed stay on with the existence of its residual assumption to be white noise and normally distributed. The advance and general model of ARIMA Box-Jenkins is a mixed autoregressive order p which moving average order q and differencing d can be written as

, (1)

where dan .

Even the innovation and modification of d in (1) to be altered from integer to fractional and real number, and therefore, changing its name from ARIMA to ARFIMA model (Autoregressive Fractional Integrated Moving Average), the assumption above can not always be granted.

3. ARCH, GARCH, and EGARCH Models

Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH) process introduced in Engle (1982) allows the conditional variance to change over time as a function of past errors laving the unconditional variance constant. ARCH modeling is a method to model time series data having heteroscedasticity properties in the error variance or error variance a conditional function (Lubrano and Bauwens, 1998).

ARCH models is an ARIMA Box-Jenkins models with white noise residual, but the square plot of residual show the existence of change of variance. Doing with this kind of data, Engle (1982) proposed to conduct an addition modeling of square of residual, and then draw the conclusion added by the information of the change matching with time change.

Consider that we have models:

(2)

where f is at least twice continuously differentiable function of , with . Where error process is parameterized as:

, t = 1, 2, ..., T. (3)

Engle (1982) ARCH (q) models can be defined as follow:

, (4)

where , , and where is a sequence of independent identically distributed random variable with zero mean and unit variance or .

Bollerslev (1986) extended the ARCH model to the Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH). GARCH models value of in (3) by writing as

, (5)

where. If p = 0 and q = 1, then this model can be written as GARCH(0,1) which constitute to ARCH(1) model, and if = 0, then GARCH (p,q) equivalent to ARCH (q).

One of family GARCH model is Exponential GARCH. This model was firstly proposed by Nelson (1991). EGARCH model can be written based on (3) or by changing (5) into the exponential form and by adding a new parameter which representing the linear combination of . A model EGARCH(p,q), therefore, can be represented as

, (6)

where , such that:

(7)

Model (7) is defined as EGARCH(p,q) model (Nelson, 1991).

Data which follows EGARCH process can be identified by calculating its sample ACF and PACF from its square residual using Lagrange Multiplier (LM) test. The LM test can be carried out in TR2 form as follows:

1. Estimate the parameter of the EGARCH (p,q) model and compute the square standardized residuals , t = 1, …, T, and the residual sum of square

2. Regress on and and compute the sum of squared residuals,

3. Compute the value of the test statistic

that has an asymptotic distribution with 2r degree of freedom under the null hypothesis.

4. Estimator of EGARCH Models

Suppose we have model (2) and (6). Then we can estimate parameter variance EGARCH(p,q) using Maximum Likelihood Estimation (MLE) method. Assuming that is normally distributed, then log likelihood function for EGARCH(p,q) can be written as

, (8)

with . (9)

where are parameters of .

Estimating parameters in (8) can not be done analytically, because they do not have close form functions. To do so, parameter estimation is done numerically from the second order conditions as arranger Hessian matrix. Some other methods, such as Newtons method, Quasi Newton method and BHHH Algorithm, are able to be used to estimate these parameters numerically (Lange, 1999).

Suppose that is an vactor of parameters to be estimated. Let denote the gradient vector of the log likelihood function at and let denite -1 times the matrix of second derivatives of the log likelihood function, then:

and

Consider approximating with a second order Taylor series around .

(10)

Setting the derivative of (10) with respect to equal to zero result in:

or (11)

(12)

One could next calculate the gradient and Hessian at and use the these to find a new estimate and continu iterating in this fashion. The th step in the iteration updates the estimate of by using the formula:

(13)

Process (13) can be calculate with numerical optimization using Quali Newton method (Lange, 1999):

(14)

If = in (15), then:

(15)

Where and

After estimating parameters of EGARCH model, a further step is evaluating the significance of parameter model. Suppose is parameter estimation EGARCH model, then hypothesis test is: H0 : = 0 ( not significant) versus H1 : ¹ 0 ( significant), with test statistics is , and rejection area define Reject H if where np­ is number of parameter.

5. Conclusion

When the high volatility and heteroscedasticity condition stay on in time series data, ARCH, GARCH, and EGARCH model could be used to model it. Maximum likelihood estimation and hypothesis test using t-statistic are applicable for estimating the parameter of these models, especially for EGARCH model.

6. References

Bollerslev, T. 1986.“Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity.” Journal of Econometrics, 31, 307–27.

Box, P.E.G, Jenkins M.G and Reinsel C. G., 1994. Time Series Analysis: Forecasting and Control, New Jersey, Prentice Hall.

Cryer, J.D., 1986. Time Series Analysis. PWS-KENT Publishing Company. Boston.

Engle, R. F., 1982. “Autoregressive Conditional Heteroscedasticity with Estimates of the Variance of United Kingdom Inflation”, Econometrica 50, 987-1007.

Hamilton, J.D., 1994. Time Series Analysis, Princeton, New Jersey.

Hillmer,S.C. and Tiao, G.C. 1979. ”Likelihood function of stationary multiple autoregressive moving average models”. Journal of the American Statistician Association. 74, 652-660.

Lange, K., (1999). “Numerical Analysis for Statisticians”. Springer-Verlag, New York.

Laws, J. and Andrew, G., 2000. “Ferecasting Stock Market Volatility and The Application of Volatility Trading Models”, Paper presented at CIBEF (Centre for Internationa Banking, Economics, and Finance, JMU, John Foster Building, 98 Mounth Pleasant, Liverpool L3 5UZ, November 1-16.

Lubrano and Bauwens, 1998. “Bayesian Inference on GARCH models using the Gibbs Sampler”, Journal of Econometrics, 1, C23 – C46.

Nelson, D. B., 1991. “Conditional Heteroskedasticity in Asset Returns: A New Approach.” Econometrica 59 2: 347-70

Wei W.S, 1990. Time Series Analysis, Univariate and Multivariate Methods. Addison-Wesley Publishing Company, New York.